Wednesday, December 28, 2011

Enter this AMAZING World

by Jane Powell

“Breaking out of limiting beliefs is like opening a door to another world.”

Beliefs are a set of generalizations you make about yourself, others and your life. They form your version of reality, based on what you feel and perceive about your experiences.
Beliefs help you set rules by which to conduct your life. Guess what? Beliefs are not facts, even though we act on them as if they were facts.
If you believe you are not a good athlete, you’re probably a bad one. If you believe you are horrible at math, then you’re destined to fail your next test. Remember, beliefs either free us or limit us. When we break past limiting beliefs, we enter a whole new world.
So, believe you CAN do it. And … you probably will!

JUST CHILL

An Appalachian folk story tells of two friends who went coon
hunting. They treed a coon but could not get him down. So one
decided he'd climb the tree and shake the coon loose. To his
surprise, he found it wasn't a coon at all, but a wildcat.

In a little while, his friend heard an awful commotion up in the
tree. Then he heard a voice screaming down at him, "Help! Help!"

"What'll I do?"

"Just shoot up here amongst us," his friend said. "One of us has got
to have some relief."

Does your life ever feel like you're wrestling with a wildcat and
somehow, somewhere, you have to get some relief? If so, you're not
alone.

Psychologist Richard Wiseman asserts that people actually need more
relief now than ever before. We are living more stressful,
faster-paced lives than ever. He cites the results of an
international study conducted in collaboration with the British
Council to measure the speed of life.

The experiment was conducted by researchers who secretly timed how
fast thousands of pedestrians walked in city centers across the
globe, including London, Madrid, Singapore and New York. Granted,
this is not the most scientific experiment, but it is fascinating
nevertheless.

Prof. Richard Wiseman says, "This simple measurement provides a
significant insight into the physical and social health of a city."
Where do the fastest walkers live? In order of speed, they are found
in Singapore (Singapore), Copenhagen (Denmark), Madrid (Spain),
Guangzhou (China) and Dublin (Ireland).

According to this study, we live about 10% faster now than twenty
years ago, when a similar experiment was conducted. The biggest
changes are found in and around Asia, where the pace of life in
Guangzhou (China) increased by over 20% and where Singapore showed a
30% increase.

A common American expression is, "Chill." Are you anxious and
uptight? Chill. Need to de-stress? Just take it easy? Chill.

Chilling is pretty good advice, actually. Especially if the word
"chill" is spelled this way:

C - Calm down. When you're anxious, frenzied or pressed, stop. Take
a deep breath and ask yourself, "Why?"

H - Hold back. Set a reasonable pace. Life is a marathon, not a
sprint. If you want to last, pace yourself. And take time to rest.

I - Indulge your desire for fun. Do something fun everyday and try
to put fun in your usual activities.

L - Learn how to just be. You already know how to DO. Take time to
BE. Don't measure your life by what you accomplish, but by who you
are. Be present. Be attentive. But be.

L - Let it go. You are not responsible for everything and everybody.
In the immortal words of poet Robert Browning, "God's in His Heaven;
all's right with the world." You don't have to do it all yourself;
you don't have to do it all right now. And some of it you may not
have to do at all.

You may feel like you're wrestling with a wildcat. Or maybe you just
feel as if you're living too fast. But if you need some relief,
"chill" is a good word to remember. Spell it right and you just
might get something you don't expect. Happiness.

Steve Goodier


Life is always good

Life is always good, because you can make of it anything you choose. Life is good, because it is exceptionally flexible.
Life is good because you can express what it means to be alive in your own unique and fulfilling way. And that is precisely how you make your life good and rich and full.
On this day, in this place, just as you are, life is good. For you have the opportunity to live with passion and purpose.
You can explore, you can invent, you can question, you can taste, you can give, you can observe and you can build. You can commit your whole life to what you value and quickly move away from what you don’t.
The possibilities spread out endlessly in every direction. And you are here, right now, to consider, select and act upon the ones that most appeal to you.
Life can be frustrating and challenging and painful, difficult and unfair. Even so, life is always good because you can always make it better, and in so doing you make it great.
Ralph Marston


" Morning Coffee"
Created, and maintained by:
Dizzyrizzy2U@aol.com
GrandmaGail2BC@aol.com
Copyright © 1996 -2011
" Morning Coffee" all rights reserved.

Tuesday, December 13, 2011

Nasihat Memilih Pasangan Hidup

 

Teringat dengan beberapa baris kata yang sering sekali terekam di dalam kepala,
“Tak perlu menuntut yang sempurna, dan mempersulit keadaan yang sebenarnya sederhana. Sebab padamu juga kelemahan itu selalu ada. Yang benar adalah sempurnakanlah niat awal kita, jika ia penuh berkah dan ridha dari-Nya, maka titik kemuliaan menjadi seorang manusia, Insya Allah akan dimudahkan oleh Allah untuk ada dalam diri kita”

Ada juga sebuah selentingan yang cukup “menggigit”,
“Semakin banyak kriteria, semakin banyak syarat, semakin banyak keinginan.. maka bersiap-siaplah kecewa. Apa penyebabnya ? karena bisa jadi yang diharapkan tak seindah realita, yang disyaratkan tak sempurna dalam lakunya. Maka berharap menemukan seseorang dalam kesempurnaan hanya membuat yang sederhana menjadi rumit dan tak mudah untuk dicerna”

Tentang penggalan kalimat kedua di atas. saya (lagi-lagi) teringat buku Serial Cinta-nya Anis Matta, di topik “Mengelola Ketidaksempurnaan”
“Apa lagi ketampanan yang tersisa di dunia ini ketika telah dibagi habis kepada Nabi Muhammad SAW, dan Yusuf AS. Dan kecantikan yang telah disempurnakan kepada Sarah istri Ibrahim AS dan Khadijah RA Istri Rasulullah. Hingga pesona kebajikan pun telah direnggut habis oleh Utsman bin Affan dan keluruhan budi telah dimiliki secara purna oleh Aisyah RA”

Lalu apa yang tersisa bagi kita manusia? Kita hanya terbagi sedikit (kalaupun ada) keshalihan-keshalihan para salafushalih yang telah hidup dalam cinta pada-Nya secara sempurna. Maka mengharap sebuah kesempurnaan pada seseorang, apalagi ukurannya adalah cantik, kaya, punya kedudukan, juga sangat shalih tanpa cela. Maka bersiap-siaplah kecewa serta bersiap-siaplah untuk terpasung dalam kerumitan. karena mencari satu dari sekian banyak pasangan jiwa dengan kriteria di atas, tak lebih hanya menyulitkan keadaan dan memperkecil kesempatan.

Tapi ini soal SELERA? Ini soal pasangan jiwa yang akan kita punya seumur hidup kita? Kalau kita tak CINTA, kita tak TERTARIK.. bisa kacau akhirnya?

Karena jawaban-jawaban inilah. Kita tengok saja hati-hati kita. Sebab jika NIAT Lillahi Ta’ala, maka kemuliaan pernikahan akan sangat jauh kedekatannya dengan nilai-nilai DUNIA. Ia hanya lekat dengan sebuah tujuan sederhana, “Menikah untuk membuatku lebih cinta pada-Nya, lebih tenteram beribadah kepada-Nya, menjaga kehormatan dan farj-ku dari kemaksiatan, dan menyempurnakan agamaku dan agamanya agar jauh lebih menghamba”. Jika ini terpasung kuat di dalam diri. Maka tambahan kriteria-kriteria lain yang lebih terkesan dunia, Insya Allah akan mulai mudah hilang dalam hitungan waktu yang berikutnya.

Sebagai kalimat penutup, saya ingin menuliskan barisan kalimat sederhana berikut :
“Ukurlah diri.. Berkacalah sedetail mungkin. Karena bisa saja CELA itu jauh lebih banyak dibanding kriteria yang telah diinginkan. Maka tanyalah pada hati yang jernih agar bisa memberi fatwa. Manakah patokan yang harus kau pakai. Jangan sampai hanya ukuran dunia yang menjadi tujuan kita”
Allahu’alam Bishawab
Taipei, 21 Juni 2011
Oleh: Ario Muhammad

Sumber: 


Saatnya untuk Menikah

 

Saatnya untuk menikah, kata-kata itulah yang kali ini terngiang-ngiang selalu di pikirannya, memenuhi relung hatinya, dan merasuki berbagai macam kegiatan yang ia lakukan.

Menikah, sebuah fitrah yang memang Allah ciptakan untuk menjadikan ketenangan bagi manusia. Ialah yang merupakan sebuah labuhan hati untuk jiwa-jiwa yang rindu akan kesucian cinta dan hakikinya hubungan manusia dengan Tuhannya. Menikah bukan hanya sekedar pemenuhan hawa nafsu atau keinginan untuk bersama antara dua insan saja, tapi lebih kepada sebuah jalan bagi para pembangun peradaban. Pernikahanlah yang menjadi sebuah titik tolak awal kebangkitan umat. Pernikahan yang baik dan suci serta pendidikan keluarga yang tarbawi-lah yang menjadi momentum yang akan membawa energi perubahan di masa mendatang.
Menikah bukanlah hal yang sederhana namun pula tak pantas untuk membuatnya menjadi kompleks yang akhirnya menghilangkan makna keindahannya. Menikah akan mempertemukan dua manusia yang memiliki karakteristik jiwa yang berbeda satu sama lainnya namun memiliki ketertarikan yang tak mampu dijelaskan dengan kata-kata biasa, sekalipun oleh para pujangga. Ia seolah seperti sebuah energi yang tersimpan kuat di dalam dada setiap manusia, terkadang tenang, terkadang bergolak, dan akhirnya ingin bertemu pada muara yang sama.
Sebuah jiwa yang telah resah di hari-harinya seolah seluruh dunianya telah berubah karena ia seperti kehilangan separuh hatinya. Sebenarnya bukan kehilangan tepatnya, namun ia hanya belum menemukan. Puisi-puisi, syair-syair, bahkan nasihat dari para bijak bestari pun tak lagi memiliki arti bagi para jiwa yang sudah tak kuasa ‘tuk segera menggenapkan diri.
“Lalu, apa? Apa yang sebaiknya aku lakukan?”

Rasulullah saw pernah bersabda, “Tak ada yang bisa dilihat lebih indah dari orang-orang yang SALING MENCINTAI seperti halnya PERNIKAHAN” (HR. Al Hakim).
Cinta antara dua manusia, antara dua jiwa yang berbeda namun entah mengapa tiba-tiba mereka memiliki frekuensi yang sama, harus bermuara dalam pernikahan. Tidak bisa tidak, tak ada lagi tawaran lain selain pernikahan. Hubungan-hubungan palsu duniawi yang lemah tidak akan pernah mampu menggantikan ajeg dan kokohnya tali cinta dalam pernikahan.

Sekali lagi, mari ingatlah, pernikahan bukanlah hal yang mudah namun tidak pantas pula untuk mempersulitnya. Banyak yang ragu dan enggan untuk memulai. Bisa disebabkan karena kondisi keuangan, kondisi pribadi, hingga kondisi keluarga. Seorang pemuda yang telah jatuh hati pada wanita idamannya hanya akan memiliki dua pilihan, meminang wanita itu hingga akhirnya menikah, atau izinkan laki-laki shalih lainnya untuk meminangnya. Dia tak bisa memberikan janji-janji pemenuh kebutaan syahwat yang pada akhirnya hanya akan menyakiti kedua belah pihak, entah akhirnya mereka benar-benar menikah atau tidak.
Setelah meminang, hanya akan keluar dua kalimat indah yang telah diajarkan oleh manusia paling mulia, Rasulullah saw. Katakan, “Alhamdulillah” jika engkau diterima, dan gelorakan, “Allahu Akbar” jika pinanganmu ditolaknya, sederhana. Sederhana pada pelaksanaannya namun hati, hati adalah rongga yang begitu dalam dan memiliki detak dan debar yang tidak sederhana. Maka di sinilah diuji keimanan manusia, apakah ia ridha dengan keputusan Tuhannya, Tuhan yang telah membuat ia dari saat sebelumnya ia bukan apa-apa, Tuhan yang telah memberikan nikmat yang sama sekali tidak mampu terhitung jumlahnya, dan tentu saja Tuhan yang telah menyematkan cinta yang begitu indah di dalam hatinya, atau ia merasa kecewa, tidak ikhlas, hingga akhirnya gerutu dan umpatan keluar dari lidah dan lisannya.
Sungguh kawan, cinta dua insan tidaklah mampu disembunyikan. Layaknya Abdullah bin Abu Bakar dan istrinya Atikah. Kenikmatan dan indahnya cinta yang akhirnya mereka rasakan dalam pernikahan membuat Abdullah lalai akan mengingat Tuhannya, bahkan hingga syuruq pun belum terlihat batang hidungnya di antara para jamaah shalat subuh. Maka, Abu Bakar, ayahnya, meminta untuk menceraikan istrinya. Perasaan apa yang ada di hatinya? Wanita yang begitu ia cintai, yang akhirnya ia dapatkan dengan cara halal dan suci harus ia lepaskan begitu saja! Siapa?! Siapa?! Siapa yang tidak akan menangis begitu dalam ketika harus menerima kenyataan ini. Siapa yang tidak akan menggubah syair yang memilukan jika harus menghadapi ini? Tetapi, perintah orang tua-lah yang ia utamakan, karena ia tahu ridha Allah berada pada ridha orang tua dan murka Allah berada pada murka orang tua.

Hari-hari kedua insan itu hanya dilalui seolah dua orang pesakitan yang tidak lagi memiliki harapan hidup, karena sebagian jiwa mereka hilang dan tidak mampu tergantikan kecuali kembali digenapkan. Akhirnya, Allah mengizinkan untuk mereka berkumpul kembali dalam siraman ridha Illahi.

Kawan, pernikahan membutuhkan persiapan. Ada dua hal mendasar yang memiliki batas yang hampir-hampir saling bersinggungan satu dengan yang lainnya, yaitu antara menyegerakan dan tergesa-gesa. Rasulullah saw bersabda, “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu ba`ah, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan farji…“(HR. Bukhari dan Muslim).

Apakah itu ba’ah wahai saudaraku? Ibnu Qayyim al-Jauziy berkata bahwa ba’ah adalah kemampuan biologis untuk berjima’. Namun, beberapa ulama ada yang menambahkan bahwa ba’ah adalah mahar (mas kawin), nafkah, juga penyediaan tempat tinggal. Kita tak mampu menutup mata dari berbagai kebutuhan yang harus terpenuhi ketika dua insan telah menyatu di dalam pernikahan.

Ada beberapa hal penting yang harus dipersiapkan menuju pernikahan. Sebuah bekal yang akan mempermudah dua insan untuk berjalan di jalur yang sama dalam pernikahan.

1. Persiapan ruhiyah
Saat pernikahan hanyalah memiliki satu niat, untuk semakin mendekatkan diri pada Tuhannya, sehingga Allah akan berkenan untuk meridhainya. Niat paling murni dan penuh keikhlasan dari seorang hamba. Dengan niat yang lurus ini seseorang akan yakin dan percaya bahwa Allah hanya akan memberikan yang terbaik untuknya, yang terbaik, yang terbaik, sekali lagi, yang terbaik. Tidak ada pilihan lainnya. Tentu saja hal ini tidak akan datang begitu saja, melainkan melalui proses perbaikan diri, perbaikan kualitas ibadah, dan pemurnian hati.

2. Persiapan ilmu
Saat dua paradigma berpikir disatukan, maka ia akan menemui benturan dan adu argumen antara keduanya. Persiapan ilmu dibutuhkan untuk mempersiapkan dan menyelaraskan perbedaan pandangan yang akan ditemukan ketika dua insan telah berada pada bahtera yang sama. Tanpa persiapan ilmu yang cukup, yang ada hanya pertengkaran dan tidak adanya pengertian antara yang satu dengan yang lainnya.

3. Persiapan fisik
Adalah cinta membutuhkan energi untuk hidup dan tetap menyala, maka seperti itulah yang dibutuhkan dalam kehidupan rumah tangga. Adalah bodoh ketika seorang suami hanya memberikan cinta tanpa menafkahi istri dan anak-anaknya. Cinta bukanlah khayalan dan fatamorgana, namun cinta adalah kenyataan yang dihadapi di depan mata. Fisik keduanya harus kuat, baik untuk membangun cinta juga untuk membangun keluarga. Hingga akhirnya cinta akan tetap hidup dalam bahtera keduanya.

4. Mengenal calon pasangan
Kenali ia dengan bertanya kepada keluarga atau orang yang shalih dan dapat dipercaya. Berjalan dengan mata tertutup adalah kebodohan yang nyata yang akan membawa mudharat baginya. Maka, lihat dan kenalilah calon pasanganmu dan berdoalah agar Allah memberikan yang terbaik untukmu. Satu hal yang perlu diingat kawan! Mengenal pasangan bukanlah dengan engkau berjalan berdua dengannya memadu cinta kasih yang sama sekali Allah haramkan hubungannya. Sama sekali tidak! Dengan itu kau hanya belajar menjadi kekasih yang baik, bukan istri/suami yang baik. Percayalah, pernikahan tak sama dengan hubungan semu yang sedang kau jalin bersamanya. Saat kau menikah tetap akan ada hal-hal baru yang sama sekali tidak kau ketahui dan itu jauh berbeda. Jika hasilnya sama, mengapa memilih jalan yang penuh duri dan sama sekali tidak mengandung ridha-Nya?

5. Lurusnya niat
Meskipun telah disinggung pada poin pertama, namun lurusnya niat bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Ia harus terhindar dari riya’ dan sum’ah, dari dengki dan iri, dan dari berbagai sifat yang merusak hati serta merusak hubungan dengan Tuhannya. Karena segala sesuatu berawal dan berakhir dari niatnya.
Cinta bukanlah satu hal pasif yang tidak membutuhkan energi dan pengorbanan untuk meraihnya namun ia adalah energi yang membutuhkan kerja keras dan berbagai pengorbanan, membutuhkan keikhlasan dan jernihnya hati, dan membutuhkan penyerahan diri pada pemilik cinta yang hakiki.
Biarlah cintamu tumbuh berkembang, akarnya menghujam bumi, daunnya berdesir mengikuti alunan angin, dan buahnya manis, serta bunganya indah merona, karena kau serahkan segalanya kepada Allah, Tuhan yang menciptakan cinta itu sendiri.

Oleh: Muhammad al-Fatih

Tuesday, November 22, 2011

Masih Haruskah Berpacaran?

 

Allah memberikan rizki sesuai dengan kebutuhan hambaNya dan di waktu yang menurut Allah terbaik untuk kita mendapatkannya. Jodoh adalah salah satu rizki yang Allah persiapkan untuk kita.

Allah akan memberikan jodoh pada kita di saat yang tepat. Bukan sesuai dengan keinginan kita. Seringnya kita menginginkan sesuatu hanya berdasarkan pada keinginan bukan pada kebutuhan. Allah Maha Tahu, kapan kita akan siap untuk menerima sebuah tanggung jawab besar untuk membentuk suatu peradaban kecil yang dimulai dari sebuah keluarga.

Karena menikah bukan hanya penyatuan dua insan berbeda dalam satu bahtera tanpa visi dan tujuan yang pasti, berlayar tanpa arah atau berlayar hanya menuju samudera duniawi.

Menikah adalah penggenapan setengah agama karena menikah adalah sarana ibadah kepada Allah. Dalam tiap perbuatan di dalam rumah tangga dengan berdasarkan keikhlasan dan  ketaqwaan maka ganjarannya adalah pahala. Tapi jika menikah hanya berdasarkan nafsu atau bahkan mengikuti perputaran kehidupan dunia, maka hasilnya pun akan sesuai dengan yang diniatkan.

Karena menikah adalah ibadah. Menikah adalah sunnah dianjurkan Rasulullah saw. Menimbun pahala yang terserak di dalam rumah tangga. Dan semua manusia yang normal pasti akan mendambakan suatu pernikahan. Merasakan suatu episode hidup dimana kita akan memulai segala sesuatu yang baru. Yang dahulu kita berperan sebagai seorang anak dengan berbagai kebahagiaan bermandikan kasih sayang orang tua. Maka menikah adalah suatu gerbang menuju pembelajaran menjadi orang tua kelak. Kita bukan lagi sebagai penumpang dimana mengikuti arah kehidupan yang ditentukan orang tua, melainkan kita akan menjadi driver untuk kehidupan kita sendiri kelak. Kita bisa saja mengikuti jalur yang telah dilewati orang tua, jika memang itu jalur yang tepat. Tapi jika jalur itu tak sesuai dengan arah tujuan kehidupan rumah tangga kita yaitu jalur keridhoan Allah, maka kita pun harus mencari jalur yang tepat.

Karena menikah itu adalah satu kebaikan maka seharusnya harus dimulai dengan yang baik pula. Misalnya, ketika kita ingin lulus ujian, maka kita harus belajar yang giat bukan bermalas-malasan.

Ayat Allah masih jelas tertera dalam kitabNya, bahwa pria yang baik akan mendapatkan wanita yang baik pula dan sebaliknya. Dan ayat itu masih sama dengan pada saat Allah turunkan beribu tahun yang lalu. Janji Allah pun tergambar melalui ayat itu dan Allah Maha Menepati janji. Lalu mengapa kita masih meragukan janji Allah itu?

Masih haruskah berpacaran? 

Mengenal lawan jenis dengan dalih untuk mengenal pribadi masing-masing. Padahal kenyataannya, hanya sedikit kejujuran yang ditampakkan pada saat pacaran. Rasa takut yang besar untuk ditinggal pasangannya atau hendak mengambil hati pasangannya membuat mereka menyembunyikan keburukan yang terdapat dalam dirinya.

Sudah menjadi rahasia umum, jika usia pacaran yang lama tak menjamin bahwa itu menjadi suatu jalan untuk memuluskan hubungan menuju jenjang pernikahan. Sudah tak menjamin adanya pernikahan setelah sekian lama menjalin masa pacaran, juga banyak dibumbui pelanggaran terhadap rambu-rambu Allah. Maksiat yang terasa nikmat.

Zaman sekarang, berpacaran sudah selayaknya menjadi pasangan Suami Istri. Si Pria seolah menjadi hak milik wanita dan Si Wanita kepunyaan pribadi Si Pria. Merekapun bebas melakukan apapun sesuai keinginan mereka.

Yang terparah adalah sudah hilangnya rasa malu ketika melakukan hubungan Suami Istri dengan Sang Pacar yang notabene bukan mahram. Padahal pengesahan hubungan berpacaran hanya berupa ucapan yang biasa disebut “nembak”, misalnya “I Love You, maukah kau menjadi pacarku?” dan diterima dengan ucapan “I Love You too, aku mau jadi pacarmu”. Atau sejenisnya. Hanya itu. Tanpa adanya perjanjian yang kuat (mitsaqan ghaliza) antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Tanpa adanya akad yang menghalalkan hubungan tersebut.

Hubungan pacaran tak ada pertanggungjawaban kecuali pelanggaran terhadap aturan Allah. Karena tak ada yang namanya pacaran islami, pacaran sehat atau apalah namanya untuk melegalkan hubungan tersebut.

Kita berlelah melakukan hubungan pacaran. Melakukan apapun guna menyenangkan hati Sang Kekasih (yang belum halal) meskipun hati kita menolak. Jungkir balik kita mempermainkan hati. Hingga suka dan sedih karena cinta, cinta terlarang. Hati dan otak dipenuhi hanya dengan masalah cinta. Kita menangis karena cinta, kita tertawa karena cinta,
kita meraung-meraung ditinggal cinta, kita pun mengemis cinta. Hingga tak ada tempat untuk otak memikirkan hal positif lainnya.

Tapi sayang, itu hanya cinta semu. Sesuatu yang semu adalah kesia-siaan. Kita berkorban mengatasnamakan cinta semu. Seorang pacar, hebatnya bisa menggantikan prioritas seorang anak untuk menghormati orangtua. Tak sedikit yang lebih senang berdua-duaan dengan Sang Pacar dibanding menemani orangtua.

Pacar bisa jadi lebih tau sedang dimana seorang anak dibanding orangtuanya sendiri. Seseorang akan rela menyenangkan hati pacarnya untuk dibelikan sesuatu yang disuka dibandingkan memberikan kejutan untuk seorang Ibu yang melahirkannya. Seseorang akan lebih menurut pd perintah Sang Pacar dibanding orangtuanya. Hubungan yang baru terjalin bisa menggantikan hubungan lahiriyah dan bathiniyah seorang anak dengan orangtua.

Jikapun akhirnya menikah, maka tak ada lagi sesuatu yang spesial untuk dipersembahkan pada pasangannya. Sebuah rasa yang seharusnya diperuntukkan untuk pasangannya karena telah diumbar sebelumnya, maka akan menjadi hal yang biasa. Tak ada lagi rasa “greget”, karena masing-masing telah mendapatkan apa yang diinginkan pada masa berpacaran. Bisa jadi, akibat mendapatkan sesuatu belum pada waktunya maka ikrar suci pernikahan bukan menjadi sesuatu yang sakral dan mudah dipermainkan. Na’udzubillah.

Parahnya jika tiba-tiba hubungan pacaran itu kandas, hanya dengan sebuah kata “PUTUS” maka kebanyakan akan menjadi sebuah permusuhan. Apalagi jika disebabkan hal yang kurang baik misalnya perselingkuhan. Kembali hati yang menanggung akibatnya. Kesedihan yang berlebihan hingga beberapa lama. Hati yang terlanjur memendam benci.

Tak sedikit yg teramat merasakan patah hati dikarenakan cinta berlebihan menyebabkannya
sakit secara fisik dan psikis. Juga ada beberapa kasus bunuh diri karena tak kuat menahan kesedihan akibat patah hati.

Terdengar berlebihan. Tapi itulah kenyataannya, hati adalah suatu organ yang sensitif. Bisa naik secara drastis, tak jarang bisa jatuh langsung menghantam ke bumi. Apa yang dirasakan hati akan terlihat pada sikap dan prilaku. Hati yang terpenuhi nafsu akan enggan menerima hal baik.

Ada orang bilang, jangan pernah bermain dengan hati. Karena dari mata turun ke hati, kemudian tak akan turun kembali. Akan ada sebuah rasa akan mengendap di dalam hati. Jika rasa itu baik dan ditujukan pada seseorang yang halal (Suami atau Istri) maka kebaikan akan terpancar secara lahiriyah. Bukan sebuah melankolisme yang kini merajalela.

Banyak pelajaran dari sekitar. Kenapa masih harus berpacaran?

Karena ingin ada teman yang selalu setia mendengar tiap keluh kesah?
Tak selamanya manusia bisa dengan rela mendengarkan keluhan manusia lainnya. Hanya Allah yang tak pernah berpaling untuk hambaNya. Bisa jadi secara fisik Sang Pacar rela mendengar dengan seksama, tapi dia juga manusia yang akan merasa bosan jika selalu dicecoki dengan berbagai
keluhan.

Malu dibilang jomblo? 

Jika dengan jomblo kita bisa terbebas dari rasa yang terlarang, kenapa harus malu? Justru kita akan merasa nyaman bercengkerama dengan Allah karena sadar hati kita hanya patut ditujukan kepadaNya bukan yg lain. Justru kita harus bangga, di saat yg lain berlomba untuk melakukan hal terlarang tapi kita menjauhinya. Kemudian tak akan ada perasaan was-was karena telah melanggar aturan Allah. Kita bebas berkumpul dengan kawan-kawan tanpa ada kekangan dari orang yang sesungguhnya tak memiliki kewenangan terhadap diri kita.

Mungkin masih banyak lagi kesia-siaan dalam berpacaran. Dan sesungguhnya belum tentu Sang Pacar akan menjadi pasangan kita kelak.

Pacaran ibarat minuman beralkohol, banyak yang mengelak bahwa dengan berpacaran mereka memiliki semangat baru dan sederet hal positif yang mereka kumandangkan. Tapi sama halnya dengan alkohol, maka manfaat yang didapat jauh lebih kecil dibanding kemudharatan yang dihasilkan. Karena segala sesuatu yang dilarang Allah, pasti ada sebab dan manfaatnya.

Kemudian ada yang berdalih, toh pacaran itu tidak merugikan orang lain. Tidak merugikan orang lain, namun hukum Allah jauh lebih baik untuk diikuti ketimbang menurutkan hawa nafsu yang berakhir pada jurang kebinasaan.

Kembali ke pernikahan, suatu kebaikan maka tak pantas jika diawali dengan keburukan. Allah tak akan ingkar janji, karena jodoh telah Allah tetapkan di Lauh Mahfuzh. Tinggal kita melakukan usaha yang baik, yang Allah ridhoi. Supaya tiap langkah kita, hanya berisi keridhoan Allah dan mendapat keberkahanNya. Aamiin.

(hanya sebuah catatan hati guna pengingat diri dan saudara seimanku)


Allahua’lam

Author : Kiptiah
sumber : www.eramuslim.com

Monday, November 14, 2011

Courage to be Yourself

 

Courage to be Yourself
 
by Jane Powell 
 

“Discomfort is a small price to pay for growth.”

Many find it difficult to say “No.” So they keep saying “Yes.”

Some people hurt when they hear praise. They shake their heads and deny their worth.

Many resist love. They are the caregivers, but they are afraid to be taken care of.


Fear, shame and doubt eat away at your self-esteem. Today, decide the course YOU want to take. Don’t always feel compelled to flow with the current.

Say “No” firmly and loudly when you need to. When someone praises you, smile gently yet proudly. Allow yourself to be loved and cared for. Take control by deciding and expressing what YOU want.

Allow discomfort to wash over you and fade away. Do the things that you REALLY want and throw away the mask that has been hiding you. You can do it!
 

 

If you give a part
of yourself to life,
the part you receive back
will be so much greater.
Never regret the past,
but learn by it.
Never lose sight of your dreams;
a person who can dream
will always have hope.
Believe in yourself;
if you do, everyone else will.
You have the ability
to accomplish anything,
but never do it at
someone else's expense.
If you can go through life
loving others,
you will have achieved
the greatest success of all.

 
Genuine humility

When you can get free from the demands of your ego, you also free yourself from most of your self-imposed limitations. In practicing genuine humility, you will find enormous power.

Get beyond the desire to control others, and you vastly improve your ability to control your own actions. Let go of the need to be right, and you open yourself to experience new truth.

Get free of the need to blame, and your own sense of responsibility grows stronger. Stop seeking to place judgments on others, and you’re free to powerfully improve your own actions.

Give up the thought that you’re better than everyone else, and a whole new world of opportunity opens up to you. Stop seeking unfair advantage, and you’re free to develop an unstoppable effectiveness.

Quit demanding the most and start expecting the best. You’ll experience a level of true abundance that you never before could have imagined.

Live each moment with humility, love, respect and gratitude for the whole of life that surrounds you. And you will find a treasure that has no end.

Ralph Marston

 
" Morning Coffee"
Created, and maintained by:
Dizzyrizzy2U@aol.com
GrandmaGail2BC@aol.com
Copyright © 1996 -2011
" Morning Coffee" all rights reserved.

 

Meluruskan Pinsil Yang Bengkok

 
  
Seperti yang biasa dialami siswa kelas IV SD, seorang anak tahun ini untuk pertama kalinya berkenalan dengan praktik percobaan pada pelajaran ilmu pengetahuan alam. Sebenarnya praktik percobaan yang ada di buku pelajarannya masih sangat sederhana. Seperti tentang sifat-sifat air yang selalu mengisi ruangan yang tertutup, selalu tampil datar, dan sebagainya. Rupanya, rangkaian percobaan IPA ini terasa kurang seru bagi anak yang rasa ingin tahunya sangat besar ini. Dia tidak puas dengan rangkaian kegiatan percobaan ilmu pengetahuan alam yang diberikan oleh guru kelasnya. Sang guru bercerita padaku bahwa di waktu istirahat sekolah, anak ini sering mendatangi perpustakaan sekolah dan mengintip pelajaran ilmu pengetahuan alam di kelas yang lebih tinggi. Salah satu pertanyannya, membuatku juga tergelitik untuk mengintip buku pelajaran tersebut. Pertanyaan itu adalah, bagaimana caranya membuat agar bayangan pinsil di dalam genangan air yang ada di dalam gelas bisa tetap tampak lurus ? Adakah yang tahu jawabannya ?

Suatu hari, seorang teman berkata padaku bahwa biar bagaimanapun bayangan itu akan mengikuti tubuh aslinya. Jika tubuh aslinya bengkok, maka bayangannya juga akan bengkok dan begitu sebaliknya. Kami sama sekali tidak sedang berbicara tentang percobaan ilmu pengetahuan alam. Dia datang padaku untuk mengemukakan sebuah kenyataan, bahwa masyarakat sering memperlakukan seseorang berdasarkan stigma (cap) tertentu pada seseorang dimana stigma itu sama sekali tidak akan terhapuskan seumur hidupnya.

"Tiang yang bengkok akan memantulkan bayangan tiang yang juga bengkok; tiang yang lurus akan menghasilkan bayangan yang lurus."

Aku terdiam mendengar penuturannya.
Terus terang; aku sama sekali tidak setuju dengan pepatah itu.

Sesuatu yang lurus akan menghasilkan bayangan yang lurus, itu memang benar. Tapi, bukan berarti bahwa keadaannya akan demikian. Kisah tentang pantulan bayangan pinsil di dalam gelas air yang kelihatan bengkok itu adalah contohnya. Selurus apapun batang pinsil tersebut dia tetap akan bengkok jika dimasukkan ke dalam gelas yang berisi air.

Ah. Pikiranku jadi melayang pada seorang temanku yang berusaha untuk meniti jalan taubat dengan susah payah. Hm, dia seorang wanita muslimah yang masih muda. Usianya belum lagi genap 22 tahun. Tapi ketika remaja dia melalui masa remajanya dengan pergaulan yang salah. Ganja, narkotika hingga seks bebas semua pernah dilakoninya. Membuat tubuhnya kurus dan terlihat lebih tua dari usia belianya yang sesungguhnya. Dia pernah mengikuti rehabilitasi untuk pengguna narkoba dan disinilah hidayah Allah datang padanya. Keluar dari rehabilitasi, dia bukan hanya bisa menghentikan rasa ketergantungan obatnya alias sembuh, tapi juga berubah menjadi seorang muslimah yang berusaha untuk menjalani kehidupan islami secara kaffah.

Jilbab lebar tidak pernah lepas dari tubuhnya. Al Quran dan tasbih selalu menemaninya kemanapun dia pergi. Perilakunya pun terjaga. Dia benar-benar berusaha untuk taubat. Sayangnya, lingkungan tempatnya tinggal sudah terlanjur mencapnya sebagai gadis "tidak baik" yang akan "Tidak baik" selamanya. Jika dia mengaji, orang akan mencemoohnya sebagai berpura-pura mencari perhatian. Jika dia berderma, orang akan menaruh prasangka bahwa dia sedang mencari muka. Jika dia memberi nasehat, maka tidak ada seorang pun yang percaya.

"Alah, perbaiki ajah diri kamu sendiri. diri sendiri belum bener kok mau nasehati orang lain!!" kalimat pedas itu kerap kali dia dengar. Lebih parahnya lagi, orang tuanya tidak percaya jika dia sekarang sudah berubah. Jika dia berpuasa sunnah, orang tuanya menuduhnya sedang memakai obat hingga dia tidak nafsu makan. Jika dia diam mengaji di kamar orang tuanya menegurnya sebagai gadis yang kehabisan uang saku sehingga tidak bisa lagi menghabiskan malam panjang di luar sana. Serba salah. Teman-temannya pun sering mengganggunya karena tidak percaya dia sekarang sudah berubah. Jangankan colekan usil, bahkan sindirin yang mengajak untuk bermaksiat kerap kali dia dengar.

"Ayolah, kamu kan dulu doyan banget begituan. Mana mungkin sekarang jadi pertapa ? Sok Muna lu ! Anak kyai mana sih yang mau elu gebet ampe elu jaim banget gini ?" Tak ada seorangpun yang percaya bahwa dia sudah bertobat. Tak ada yang peduli bahwa "dia yang sekarang" sudah berbeda dengan "dia yang dulu". Apapun kebaikan yang dia lakukan tetap saja dipandang hina. Apapun kebajikan yang dia usahakan tak ada yang akan melihatnya sebagai sebuah kebajikan. Masa lalunya sebagai "gadis bukan baik-baik" sudah terlanjur menjadi pakaian yang sekarang sangat sulit dilepaskan meski sebenarnya si pemilik tubuh sudah ingin melepaskan pakaian itu.

"Aku harus bagaimana mbak ? Lelah rasanya menghadapi lingkungan yang tidak pernah mau percaya bahwa aku sudah berusaha untuk bertobat. Jika ini memang ujian atas hijrahku di jalan Allah, mengapa ujian ini tidak memperlihatkan satupun tanda sebagai jalan keluar yang mudah. Aku khawatir akan kalah dalam hal ini. Aku takut jadi orang yang kalah dalam menerima ujian Allah." Dengan tersedu dia mencurahkan perasaannya padaku. Kesedihan dan kekhawatirannya adalah kesedihan dan kekhawatiran jika dia kembali mundur seperti dulu. Godaan untuk melakukan maksiat yang selalu disodorkan sepanjang waktu; bukan tidak mungkin suatu saat bisa meruntuhkan iman seseorang. Ledekan dan hinaan yang terdengar terlalu sering bukan tidak mungkin suatu saat akan membuatnya merasa kelelahan dan akhirnya membenarkan apa yang selama ini dituduhkan oleh lingkungan. Bukankah akan lebih mudah dan ringan berenang sesuai dengan arus yang mengalir daripada berenang dengan melawan arus ?

Seperti itulah gambaran kehidupan temanku. Dia seperti pinsil yang tegak dan lurus. Tapi karena berada di dalam sebuah gelas yang berisi air, maka bayangannya akan selalu terlihat bengkok. Sekeras apapun usaha yang dia lakukan tak ada yang bisa melihatnya lurus. Kecuali jika pinsil itu dipindahkan ke sebuah media yang lain. Media kering yang memperlihatkan keseluruhan tubuh pinsil itu. Mungkin di atas buku tulis. Atau di atas meja. Atau bahkan di atas lantai. Lihat pinsil itu dan lihatlah, apapun posisi yang diberlakukan semua akan setuju bahwa pinsil itu lurus. Tegak, terbalik, tidur, loncat-loncat, diam atau bergerak. Pinsil itu lurus, tidak bengkok. Jadi jawaban untuk pertanyaan anak SD yang ingin tahu cara meluruskan pinsil yang bengkok yang ada di dalam gelas berisi air adalah dengan cara mengeluarkannya dari dalam gelas berisi air tersebut.

Itulah jawaban Allah atas doa-doa yang dipanjatkan temanku itu setiap kali dia berdoa meminta perlindungan Allah selalu dalam usahanya untuk hijrah dari kehidupan jahiliyahnya dahulu. Alhamdulillah, akhirnya temanku itu menikah dan pindah ke lingkungan yang jauh berbeda dengan lingkungannya yang lama. Tidak ada yang tahu bagaimana masa lalunya dahulu dan kalaupun tahu tidak ada yang peduli karena yang mereka lihat adalah masa kini. Keshalehannya kian terlihat dan terasah. Dia sendiri bisa menikmati kemesraan mencintai Allah dengan lebih bahagia.

"Aku tidak setuju dengan pernyataan kamu tentang tiang dan bayangannya." Setelah bernostalgia dengan pengalaman perjalanan tobat temanku, aku segera memberikan jawabanku atas pernyataan temanku.

"Tapi itu peribahasa yang sudah umum berlaku mbak. Coba mbak pikirkan, apakah bisa sebuah bayangan melenceng jauh dari tubuh asli yang dipantulkannya ?" Temanku bertanya ringan tapi aku merasa kian tertantang untuk memberikan jawaban.

"Bisa." Jawabku mantap dan yakin.
"Bisa ? Bagaimana ? Bagaimana membuat bayangan yang berbeda dari tubuh yang dipantulkan ?" Temanku bertanya tidak percaya. Lagi-lagi aku bersyukur karena bergaul dengan anak SD yang duduk di kelas IV SD di atas. Ternyata, pelajaran itu kadang bisa kita peroleh dari hal-hal remeh yang ada di kehidupan sehari-hari.

"Jika kamu berjalan di pagi hari menghadap ke arah barat. Coba lihat bayanganmu ? Ukur tingginya, apakah tinggi tubuhmu setinggi bayangan itu ? Tidak. Bayangan itu sudah menipumu. Tinggi tubuhnya jauh lebih tinggi dari tubuh aslimu."

"Tapi bayangannya sama kan mbak ? Tidak berubah jadi bengkok ? Jika saya berdiri lurus apakah bayangan saya bengkok ? Tidak. Dia tetap akan lurus."

"Bengkok. Bisa bengkok, jika jalanan di depan kamu adalah sebuah lubang yang cekung, atau sebuah dinding yang membuat bayangan itu patah, maka bayangannya akan bengkok. Kenapa harus melihat pada bayangan padahal bayangan itu adalah sesuatu yang gelap dan sifatnya selalu menipu pandangan. Peribahasa itu dibuat untuk menguatkan pandangan masyarakat akan pentingnya melihat keseluruhan seseorang. Seseorang yang baik itu adalah seseorang yang punya masa lalu yang baik, masa depan yang baik, masa kini yang baik, keluarga yang baik, teman yang baik, musuh yang baik. Tapi apakah ada orang yang sempurna seperti itu ? Padahal Allah-lah Yang Maha Mengetahui segalanya tapi hidayah-Nya bisa datang pada siapapun, dimanapun dan kapanpun tanpa melihat masa lalu, keluarga dan sebagainya." Dalam hati aku ingin mengatakan bahwa apakah anak seorang yang orang tuanya haji akan jadi jaminan bahwa si anak akan bermental baik dan islami ? Apakah anak seorang pelacur akan juga jadi pelacur ? Tidak. Jawaban "Tidak" disini untuk dua hal. "Tidak" yang pertama untuk mengatakan bahwa tidak selalu keadaannya akan seperti itu dan jawbaan "Tidak" yang kedua karena ternyata aku tidak mengemukakan contohku itu dalam diskusi kami. Contoh itu terlalu lazim digunakan dan biasanya seseorang yang sudah tahu akan merasa bosan disodori sesuatu yang lazim. Percuma contoh itu aku utarakan, keberadaannya akan dipandang remeh oleh mereka yang merasa sudah hapal.

Sekali lagi, tanpa aku sadari aku membandingkan dua orang yang berbeda dalam kepalaku. Yang pertama adalah temanku yang insya Allah telah berhasil untuk hijrah ke jalan yang lurus dan insya Allah diridhai Allah. Yang kedua adalah seseorang yang baru saja aku temui setelah sekian tahun tidak pernah bertemu. Sewaktu kuliah dulu, dia adalah muslimah yang tidak pernah melepas jilbabnya kemanapun dia pergi. Tapi ketika bertemu kembali ternyata jilbabnya sudah dia tanggalkan dan gaya hidupnya sudah jauh berbeda. Jika ukuran materi dunia jadi patokan seseorang untuk berhasil dan sukses, dia termasuk dalam kelompok orang yang berhasil dan sukses. Tapi dengan beberapa tambahan, pakaian yang minimalis, rambut yang berubah warna sesuai tuntutan acara yang diikuti dan pergaulan yang "modern". "Aku sekarang sudah jadi wanita modern." Katanya dengan penuh kebanggaan.

Hidayah Allah sungguh bisa datang pada siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Tapi rasanya, jika hidayah itu sudah datang, maka usaha untuk mempertahankannya adalah usaha yang tidak kenal batas lelah dan hanya berakhir ketika kematian tiba. Jadi, jika hidayah Allah datang dan diberikan, genggamlah dia selalu meski rasanya seperti menggenggam bara, jangan pernah dilepaskan. Perjalanan masih sangat panjang dan akhiratlah tujuan akhir yang ingin kita tuju bersama.
(oleh: Ade Anita, oleh-oleh dari hasil diskusi dengan beberapa sahabat dan yang tersayang, Ibam)

(Berkatalah salah seorang di antara mereka: "Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) mempunyai seorang teman, yang berkata: "Apakah kamu sungguh-sungguh termasuk orang yang membenarkan (hari berbangkit)?. Apakah bila kita telah mati dan kita telah menjadi tanah dan tulang-belulang, apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan untuk diberi pembalasan?" Berkata pulalah ia: "Maukah kamu meninjau (temanku itu)?" Maka ia meninjaunya, lalu dia melihat temannya itu di tengah-tengah neraka menyala-nyala. Ia berkata (pula): "Demi Allah, sesungguhnya kamu benar-benar hampir mencelakakanku, jikalau tidaklah karena nikmat Tuhanku pastilah aku termasuk orang-orang yang diseret ke neraka. (Qs 37: 51-57)

-------
sumber : Portal Kita


Amanah Cinta


Teruntuk Saudaraku

Akhi, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu
Aku ingin bercerita tentang cinta kepadamu
Cinta yang dulu pernah kita rangkai dan kita ramu
Sepakat dalam kata, cinta adalah anugerah Allah untukku juga untukmu

Ada yang bahagia karena cinta
Tapi juga banyak yang terluka karena cinta
Akhi, Sebagai sahabat aku hanya ingin mengingatkan kita
Untukmu, juga untukku sebagai peran utama dalam hal cinta.

Maka, tahanlah lisanmu untuk mengatakan cinta
Janganlah terlalu mudah mengatakan cinta
Memberikan harapan tanpa kepastian semata
Apalagi tanpa ikatan kesucian cinta

Ketahuilah, Allah menitipkan cinta pada kita
Tapi Allah juga menginginkan agar kita menjaganya
Kita memiliki Izzah, pantang mengatakan cinta
Bila nikah masih tak terlaksana dijalan-Nya

Jika cinta maka nikahilah
Jika menikahi maka cintailah
Dengan setulus hati
Sepanjang hidupmu sampai mati
 
…………………………………………………

Teruntuk Saudariku

Ukhti yang dirahmati Allah Subhanahu Wata’ala
Engkau adalah jendela dunia
Tiang agama
Bila rapuh, maka, hancurlah generasi peradaban dunia

Ukhti, jangan kau mudah menerima cinta
Dari seseorang yang hanya mengumbar cinta dusta
tanpa kepastian dan tindakan yang nyata

Ukhti, banyak di antara kami yang mengatasnamakan cinta
Melibatkanmu tapi tanpa sebab dan alasan lalu meninggalkanmu
Maka, berhati-hatilah dengan cinta
bila engkau tak mau terluka sepanjang hidupmu

Akhi Ukhti
Janganlah mengatasnamakan ukhuwah
Sehingga kita melanggar cinta yang sah
Lalu ukhuwah itu terpecah
Lantaran cinta yang salah tanpa panduan syariah

Akhi Ukhti
Bersabarlah dengan cinta, berserah dirilah kepada-Nya
Kita akan dibuat bahagia oleh cinta jika kita menjaganya
Karena cinta itu indah pada waktunya

*Salam Amanah Cinta
Ismiy Sutrisno

Ketika Telah Tiba Saat Menikah


MENIKAH adalah keputusan yang besar dalam hidup kita. Ini adalah pilihan yang tidak main-main. Memilih seorang pasangan yang dengannya kita akan membangun sebuah keluarga, menurunkan keturunan dan hidup bersama dalam segenap suasana bukanlah persoalan yang hanya untuk satu dua tahun saja, melainkan untuk sepanjang tahun. Untuk jangka waktu yang selama-lamanya. Bahkan bukan hanya di dunia, tapi juga untuk hidup di akhirat. Demikianlah, kita perlu mempertimbangkan dengan seksama dan matang perihal ini.

Sejatinya, keputusan apapun dalam hidup kita merupakan peristiwa besar. Dari keputusan itu, kelak rangkaian peristiwa akan terus bergulir. Ada peribahasa lawas, langkah keseribu dimulai dengan langkah pertama. Kita perlu hati-hati dan cermat ketika memutuskan, apapun. Orang Cina kuno punya pepatah, rusak seinci rugi seribu batu. Maka, pengambilan keputusan merupakan pertemuan dengan sebuah revolusi.

Ketika kita benar-benar telah memilih pasangan, maka saat itu juga kita telah memutuskan untuk hidup bersama dengan seorang yang asing, meninggalkan orang tua dan keluarga kita yang selama ini telah membersamai dengan segenap kehangatannya. Pilihan untuk hidup bersama pasangan ini sungguh-sungguh mustahil kecuali jika kita benar-benar merasa yakin bahwa kebahagiaan bersama ibu bapak dapat juga kita raih dengan hidup bersama pasangan. Pilihan untuk hidup bersama ini sungguh-sungguh mustahil kecuali jika kita yakin bahwa pasangan akan menjadi pembela dan pelindung sebagaimana saudara laki-laki dan saudara perempuan melindungi kita. Semua ini butuh keyakinan kuat dari hati.

Karenanya, saya bisa memahami kenapa perjanjian pernikahan disebut oleh Al-Quran sebagai mitsaqan ghalizha, perjanjian yang amat kuat. Ini adalah perjanjian yang sakral. Sebuah perjanjian agung antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan saksi Allah Tuhan seru sekalian alam.

Semoga Allah tabaraka wa ta’ala senantiasa meluruskan dan menetapkan niat kita bahwa menikah merupakan bagian perjuangan untuk meniti jalan sunnah Nabi-Nya dan ibadah kepada-Nya. Tentu saja, kita ingin mengawali perjuangan ini dengan segenggam keyakinan bahwa pilihan kita untuk menikah dengan pasangan merupakan pilihan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.

Ketika seorang lelaki hendak memilih pasangannya, ada empat perkara yang dapat ia jumpai pada seorang perempuan: kecantikan, keturunan, kekayaan, dan agama. Agama ini datang untuk mengajarkan bahwa kemuliaan tertinggi adalah pada agama.

Ada sebuah kabar, kebanyakan lelaki lebih suka pada perempuan dengan paras yang begitu ayu. Itu sah-sah saja. Tetapi kita mesti sadar bahwa keayuan paras saja bukanlah sebab yang kelak akan mendatangkan barakah dalam pernikahan. Demikian halnya dengan keturunan dan kekayaan. Ada yang lebih sempurna dari itu semua, yakni akhlak mulia dalam diri perempuan. Ada agama dalam hidupnya.

Dalam banyak riwayat, Nabi senantiasa meminta para sahabat untuk melihat dulu Muslimah yang hendak dipinangnya. Tujuannya, agar para sahabat itu menemukan “sesuatu” yang membuatnya tertarik dan bisa melanggengkan pernikahannya. Dalam pemahaman inilah kita perlu meletakkan keayuan paras, keturunan dan kekayaan. Sungguh, Nabi kita yang agung telah berwasiat bahwa fitnah terbesar bagi lelaki adalah kaum wanita. Semoga kita tidak jatuh pada perempuan macam begitu.
Maka, paras ayu, keningratan, dan anak orang kaya bukan menjadi sebab utama. Seandainya kita tidak menemukan akhlak mulia dalam dirinya, sebaiknya pilihan tidak dijatuhkan.
Ada kiasan menarik dari Al-Quran tentang pasangan Suami-Istri. Masing-masing merupakan pakaian bagi yang lain. Sebagaimana layaknya pakaian, ada banyak macam pakaian yang sudah genap syarat-syaratnya buat menutup aurat sesuai tuntunan agama, tetapi untuk menjatuhkan pilihan pada sebuah pakaian, kita perlu menimbang dengan rasa dan hati kita.
Sebaliknya, ada banyak juga pakaian yang menarik hati, tapi kalau dengan memakainya aurat menjadi tak tertutupi, apalah guna punya pakaian yang menarik hati.

Demikian pulalah memilih pasangan. Kalau hanya menimbang wajah yang ayu, pernikahan hanya akan menerbitkan kehinaan. Sebagaimana kecantikan yang akan cepat sirna, pernikahan yang demikian akan cepat layu. Tapi, kalau hanya memilih yang baik beragama saja, takut juga bila mata dan hati menjadi kurang terjaga. Demikianlah saya memahami anjuran Nabi untuk melihat dulu muslimah yang hendak dipinang. Bukankah sudah termaktub dalam Kitab suci, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum [30] : 21)

Kalau saya tak salah ingat, Bunda Khadijah ra juga merupakan perempuan suci yang menawan yang banyak dilirik para pembesar Quraisy. Bunda Aisyah ra merupakan gadis muda yang jelita. Bunda Zainab binti Jahsy ra juga memiliki wajah yang rupawan. Demikian juga Bunda Maria al Qibthiyah ra yang berkulit putih bersih yang kecantikannya sempat membuat Aisyah ra cemburu. Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui hikmah dibalik paras wajah para Ummul Mukminin kita.

Maka, tentu saja, pakaian yang baik adalah yang memenuhi aturan agama dan sesuai dengan selera hati. Sesuai anjuran Nabi, memiliki agama yang bagus dan ada “sesuatu” yang insya Allah akan melanggengkan pernikahan. Saya rasa, pasangan yang demikian sudah cukup sempurna bagi kita. Semoga “sesuatu” itu membawa keberkahan yang berujung sampainya istri shalihah kepada kita. Kata Nabi, inilah sebaik-baik perhiasan dunia dan harta yang paling berharga.

Tatkala kita sudah yakin, semoga keyakinan yang kita genggam seturut dengan jalan Nabi dan mendapat taburan ridha Allah Yang Mahasuci.
Maka, tak ada lagi yang menghalangi kita untuk bersegera meminangnya dengan segenap puja-puji bagi Allah Yang Mahatinggi.

Pada saat kita menimbang untuk memilihnya, kita sadar ini bukanlah untuk hidup diri kita semata, melainkan juga untuk kedua ibu bapak, keluarga dan anak-anak kita kelak.
Kata Nabi, Istri shalihah adalah perhiasan paling indah. Saban hari, Istri shalihah akan menjadi puisi yang senantiasa menghiasi. Puisi itu tak terumuskan oleh bahasa dan tak terucapkan oleh kata apa saja. Yang jelas, puisi itu begitu indah. Serasa dibuai diayun-ayun. Dan bagi anak-anak kelak, Istri yang demikian akan menjadi madrasah utama bagi mereka. Kelembutannya akan menjernihkan hati anak-anak. Dan bukankah jika segumpal darah (hati) itu baik maka baiklah seluruh dirinya?

Saya sepenuhnya sadar bahwa mencari Istri yang shalihah itu seperti berburu mutiara di dasar laut. Nun di sana, di dalam cangkang itu istri shalihah senang berada dan menjaga diri. Dan untuk menemukannya, kita harus menyelam di kedalaman, tapi kita akan tahu seberharga apa dia ketika kita sudah mendapatkannya.

***
Sebuah pernikahan didahului oleh pilihan bebas yang penuh kesadaran dan tanggung jawab. Masa awal-awal pernikahan merupakan masa dimulainya perjuangan untuk memupuk rasa simpati dan menyuburkannya menjadi cinta.

Al-Quran menyebut cinta antara Suami-Istri dengan kata afdha. Maknanya, seperti keterbukaan angkasa raya. Dalam cinta yang demikian, tak ada lagi sikap yang penuh pura-pura. Suatu kali, mungkin kita akan mendatangi istri dengan setumpuk masalah dan kita tak sedikitpun ragu untuk mengeluhkan beban dan bahkan mungkin menangis di pangkuannya. Meski, ketika kita di luar rumah, kita tetap tegar dengan air muka yang selalu ceria. Suatu ketika, Nabi agung Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Bunda Khadijah radhiallahu 'anha dalam keadaan gelisah dan ragu seusai mendapat wahyu pertama. Dengan kelembutannya, Bunda Khadijah ra menenangkan dan menguatkan hati Nabi.
Saya tercengang dengan kalimat Umar ibn Khattab ra. Katanya, seorang laki-laki akan menjadi anak-anak ketika ia hanya berdua bersama Istrinya.

Sebaliknya, Nabi juga memiliki sikap yang sangat hangat kepada setiap Istrinya. Saat itu Nabi bersama beberapa sahabat. Seorang utusan datang membawa nampan makanan. Ketika mengetahui nampan itu berasal dari Ummu Salamah ra, Aisyah ra langsung menampakkan kecemburuannya yang luar biasa. Nampan itu ia lempar sehingga pecah. Nabi tersenyum dan beliau hanya bilang sekedarnya saja pada para sahabatnya, “Ibu kalian sedang cemburu”. Ada teladan luar biasa dalam setiap jengkal hidup Nabi.

Suatu ketika, ada sahabat yang mengadu pada Umar ra perihal Istrinya yang marah-marah kepadanya. Sahabat itu mendapatkan jawaban Umar ra yang tak disangka. “Istriku juga marah kepadaku, tapi aku diam saja. Ia yang mengurus rumahku, mencuci pakaianku, memasak makanan untukku dan merawat anak-anakku. Ia berhak untuk marah kepadaku kalau aku juga tak menurut kepadanya.” Ada teladan yang tak biasa dalam setiap jengkal hidup para sahabat.

Setiap pasangan tentu selalu mendambakan lahirnya cinta sejati. Demikian juga kita, saya yakin pasti juga merindukannya. Bagi saya, teladan cinta sejati adalah cinta yang dimiliki dan disuguhkan oleh Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam pada Bunda Khadijah radhiallahu 'anha. Bukan putri Cinderella dan pangerannya. Bukan pula Romeo dan Juliet. Atau kisah-kisah asmara dalam buku dan sandiwara-sandiwara picisan.

Tentu saja, cinta pasangan Nabi dan Ibu kaum mukminin itu terlalu sempurna buat kita. Barangkali jaraknya sejauh bumi dan langit. Tapi, setidaknya kita punya cermin utama bagaimana kelak kita harus mengambil sikap, melahirkan cinta itu dan kemudian merawatnya dengan hangat. Jika Allah menghendaki Nabi sebagai uswah hasanah manusia, maka teladan itu pasti bisa diraih. Sesulit dan sesusah apapun pasti bisa digapai. Dari sini perjuangan untuk melanggengkan pernikahan dimulai. Dari sini perjuangan untuk tetap setia pada mitsaqan ghalizha menjadi nyata. Dari sini, semoga doa Nabi untuk mempelai bisa terwujud, ada ketenangan, cinta kasih dan rahmah. Ada sakinah, ada mawaddah, dan ada rahmah.

Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, memantaskan kita untuk dikejutkan dengan hadiah dari langit, pasangan yang shalih dan shalihah. Amin.

Sumber :
Pogung Lor – Yogyakarta, 21 Ramadhan 1431 H / 31 Agustus 2010
www.eramuslim.com

Give yourself praise

 
Give Credit Where Credit is Due
by Jane Powell 

“Give yourself praise.”

Why do we find it so hard to praise ourselves when we achieve something? It doesn’t seem to matter whether our accomplishments are small or sensational. Giving ourselves a pat on the back for a job well done, can be the emotional equivalent of climbing Mt. Everest!

Perhaps you were trained to be modest; perhaps, you were told you were hopeless and didn’t learn to believe in yourself. Perhaps your past achievements were simply ignored by parents, peers or mentors. Or, maybe you’ve simply given up on expecting accolades.

We often freely praise others for their achievements yet withhold it from ourselves. But self-praise is important – more important than praise from others. Others are not always dependable. But, you can always count on yourself.

Today, begin your journey of self-commendation. Praise yourself for each achievement, however insignificant you may think it is. Watch yourself achieving as you go about your day. And give yourself a pat on the back – you deserve it!


 
Make your happiness the number one thing in your life. Happiness is an inside job
You can completely transform any relationship, no matter what it's like right now.
Every single relationship you have is a reflection of how you feel inside about you. You are a magnet attracting to you all things, via the signal you are emitting through your thoughts and feelings. Every relationship you have and every interaction with every person, is a reflection of your own thoughts and feelings in that very moment.
To transform every single relationship you have in your life.
Fall in love with YOU!
Make lists of hundreds and hundreds of wonderful things about you. Keep adding to it every day.
Know that you are perfect. Do not think any negative thoughts about you.
Know that you are worthy and deserving of anything and everything you could possibly want in your life.
Focus on the wonderful things in every person. Look for only those things.
Do not blame or criticize anybody, ever.
Set an intention that you are going to see the best in everything and everyone.
Make your happiness the number one thing in your life. Happiness is an inside job.
Free yourself of the responsibility of trying to make other people happy. Respect and love them enough to allow them to take care of their own happiness.
Get your attention off those things in others that don't make you feel good.
Appreciate and love yourself in every moment you can.
Do not expect others to behave in a way you want, so you will be happy. Release yourself forevermore and know that you alone control your happiness and it is a choice, no matter what anyone else is doing.
Love and respect yourself completely.
Know that you are perfect right now.


 

Step into this moment

Instead of obsessing over the problems, you can be working on the solutions. Where you’re headed is a much more meaningful concern than where you’ve been.

Don’t be held back by thoughts of what might go wrong. Now is your opportunity to do all you can to make sure things go right.
Choose right now to take life in stride. Remind yourself that you can do just fine with whatever life sends your way.

On the down days, let your dreams pull you up. On the up days, let those dreams push you even faster ahead.

There is goodness in all that’s around you. There is some kind of positive value to be found in every experience.
See that goodness, and bring that value to life. Joyfully, confidently step into this beautiful moment and make its new richness your own.

Ralph Marston


 
" Morning Coffee"
Created, and maintained by:
Dizzyrizzy2U@aol.com
GrandmaGail2BC@aol.com
Copyright © 1996 -2011
" Morning Coffee" all rights reserved.