Wednesday, December 28, 2011

Enter this AMAZING World

by Jane Powell

“Breaking out of limiting beliefs is like opening a door to another world.”

Beliefs are a set of generalizations you make about yourself, others and your life. They form your version of reality, based on what you feel and perceive about your experiences.
Beliefs help you set rules by which to conduct your life. Guess what? Beliefs are not facts, even though we act on them as if they were facts.
If you believe you are not a good athlete, you’re probably a bad one. If you believe you are horrible at math, then you’re destined to fail your next test. Remember, beliefs either free us or limit us. When we break past limiting beliefs, we enter a whole new world.
So, believe you CAN do it. And … you probably will!

JUST CHILL

An Appalachian folk story tells of two friends who went coon
hunting. They treed a coon but could not get him down. So one
decided he'd climb the tree and shake the coon loose. To his
surprise, he found it wasn't a coon at all, but a wildcat.

In a little while, his friend heard an awful commotion up in the
tree. Then he heard a voice screaming down at him, "Help! Help!"

"What'll I do?"

"Just shoot up here amongst us," his friend said. "One of us has got
to have some relief."

Does your life ever feel like you're wrestling with a wildcat and
somehow, somewhere, you have to get some relief? If so, you're not
alone.

Psychologist Richard Wiseman asserts that people actually need more
relief now than ever before. We are living more stressful,
faster-paced lives than ever. He cites the results of an
international study conducted in collaboration with the British
Council to measure the speed of life.

The experiment was conducted by researchers who secretly timed how
fast thousands of pedestrians walked in city centers across the
globe, including London, Madrid, Singapore and New York. Granted,
this is not the most scientific experiment, but it is fascinating
nevertheless.

Prof. Richard Wiseman says, "This simple measurement provides a
significant insight into the physical and social health of a city."
Where do the fastest walkers live? In order of speed, they are found
in Singapore (Singapore), Copenhagen (Denmark), Madrid (Spain),
Guangzhou (China) and Dublin (Ireland).

According to this study, we live about 10% faster now than twenty
years ago, when a similar experiment was conducted. The biggest
changes are found in and around Asia, where the pace of life in
Guangzhou (China) increased by over 20% and where Singapore showed a
30% increase.

A common American expression is, "Chill." Are you anxious and
uptight? Chill. Need to de-stress? Just take it easy? Chill.

Chilling is pretty good advice, actually. Especially if the word
"chill" is spelled this way:

C - Calm down. When you're anxious, frenzied or pressed, stop. Take
a deep breath and ask yourself, "Why?"

H - Hold back. Set a reasonable pace. Life is a marathon, not a
sprint. If you want to last, pace yourself. And take time to rest.

I - Indulge your desire for fun. Do something fun everyday and try
to put fun in your usual activities.

L - Learn how to just be. You already know how to DO. Take time to
BE. Don't measure your life by what you accomplish, but by who you
are. Be present. Be attentive. But be.

L - Let it go. You are not responsible for everything and everybody.
In the immortal words of poet Robert Browning, "God's in His Heaven;
all's right with the world." You don't have to do it all yourself;
you don't have to do it all right now. And some of it you may not
have to do at all.

You may feel like you're wrestling with a wildcat. Or maybe you just
feel as if you're living too fast. But if you need some relief,
"chill" is a good word to remember. Spell it right and you just
might get something you don't expect. Happiness.

Steve Goodier


Life is always good

Life is always good, because you can make of it anything you choose. Life is good, because it is exceptionally flexible.
Life is good because you can express what it means to be alive in your own unique and fulfilling way. And that is precisely how you make your life good and rich and full.
On this day, in this place, just as you are, life is good. For you have the opportunity to live with passion and purpose.
You can explore, you can invent, you can question, you can taste, you can give, you can observe and you can build. You can commit your whole life to what you value and quickly move away from what you don’t.
The possibilities spread out endlessly in every direction. And you are here, right now, to consider, select and act upon the ones that most appeal to you.
Life can be frustrating and challenging and painful, difficult and unfair. Even so, life is always good because you can always make it better, and in so doing you make it great.
Ralph Marston


" Morning Coffee"
Created, and maintained by:
Dizzyrizzy2U@aol.com
GrandmaGail2BC@aol.com
Copyright © 1996 -2011
" Morning Coffee" all rights reserved.

Tuesday, December 13, 2011

Nasihat Memilih Pasangan Hidup

 

Teringat dengan beberapa baris kata yang sering sekali terekam di dalam kepala,
“Tak perlu menuntut yang sempurna, dan mempersulit keadaan yang sebenarnya sederhana. Sebab padamu juga kelemahan itu selalu ada. Yang benar adalah sempurnakanlah niat awal kita, jika ia penuh berkah dan ridha dari-Nya, maka titik kemuliaan menjadi seorang manusia, Insya Allah akan dimudahkan oleh Allah untuk ada dalam diri kita”

Ada juga sebuah selentingan yang cukup “menggigit”,
“Semakin banyak kriteria, semakin banyak syarat, semakin banyak keinginan.. maka bersiap-siaplah kecewa. Apa penyebabnya ? karena bisa jadi yang diharapkan tak seindah realita, yang disyaratkan tak sempurna dalam lakunya. Maka berharap menemukan seseorang dalam kesempurnaan hanya membuat yang sederhana menjadi rumit dan tak mudah untuk dicerna”

Tentang penggalan kalimat kedua di atas. saya (lagi-lagi) teringat buku Serial Cinta-nya Anis Matta, di topik “Mengelola Ketidaksempurnaan”
“Apa lagi ketampanan yang tersisa di dunia ini ketika telah dibagi habis kepada Nabi Muhammad SAW, dan Yusuf AS. Dan kecantikan yang telah disempurnakan kepada Sarah istri Ibrahim AS dan Khadijah RA Istri Rasulullah. Hingga pesona kebajikan pun telah direnggut habis oleh Utsman bin Affan dan keluruhan budi telah dimiliki secara purna oleh Aisyah RA”

Lalu apa yang tersisa bagi kita manusia? Kita hanya terbagi sedikit (kalaupun ada) keshalihan-keshalihan para salafushalih yang telah hidup dalam cinta pada-Nya secara sempurna. Maka mengharap sebuah kesempurnaan pada seseorang, apalagi ukurannya adalah cantik, kaya, punya kedudukan, juga sangat shalih tanpa cela. Maka bersiap-siaplah kecewa serta bersiap-siaplah untuk terpasung dalam kerumitan. karena mencari satu dari sekian banyak pasangan jiwa dengan kriteria di atas, tak lebih hanya menyulitkan keadaan dan memperkecil kesempatan.

Tapi ini soal SELERA? Ini soal pasangan jiwa yang akan kita punya seumur hidup kita? Kalau kita tak CINTA, kita tak TERTARIK.. bisa kacau akhirnya?

Karena jawaban-jawaban inilah. Kita tengok saja hati-hati kita. Sebab jika NIAT Lillahi Ta’ala, maka kemuliaan pernikahan akan sangat jauh kedekatannya dengan nilai-nilai DUNIA. Ia hanya lekat dengan sebuah tujuan sederhana, “Menikah untuk membuatku lebih cinta pada-Nya, lebih tenteram beribadah kepada-Nya, menjaga kehormatan dan farj-ku dari kemaksiatan, dan menyempurnakan agamaku dan agamanya agar jauh lebih menghamba”. Jika ini terpasung kuat di dalam diri. Maka tambahan kriteria-kriteria lain yang lebih terkesan dunia, Insya Allah akan mulai mudah hilang dalam hitungan waktu yang berikutnya.

Sebagai kalimat penutup, saya ingin menuliskan barisan kalimat sederhana berikut :
“Ukurlah diri.. Berkacalah sedetail mungkin. Karena bisa saja CELA itu jauh lebih banyak dibanding kriteria yang telah diinginkan. Maka tanyalah pada hati yang jernih agar bisa memberi fatwa. Manakah patokan yang harus kau pakai. Jangan sampai hanya ukuran dunia yang menjadi tujuan kita”
Allahu’alam Bishawab
Taipei, 21 Juni 2011
Oleh: Ario Muhammad

Sumber: 


Saatnya untuk Menikah

 

Saatnya untuk menikah, kata-kata itulah yang kali ini terngiang-ngiang selalu di pikirannya, memenuhi relung hatinya, dan merasuki berbagai macam kegiatan yang ia lakukan.

Menikah, sebuah fitrah yang memang Allah ciptakan untuk menjadikan ketenangan bagi manusia. Ialah yang merupakan sebuah labuhan hati untuk jiwa-jiwa yang rindu akan kesucian cinta dan hakikinya hubungan manusia dengan Tuhannya. Menikah bukan hanya sekedar pemenuhan hawa nafsu atau keinginan untuk bersama antara dua insan saja, tapi lebih kepada sebuah jalan bagi para pembangun peradaban. Pernikahanlah yang menjadi sebuah titik tolak awal kebangkitan umat. Pernikahan yang baik dan suci serta pendidikan keluarga yang tarbawi-lah yang menjadi momentum yang akan membawa energi perubahan di masa mendatang.
Menikah bukanlah hal yang sederhana namun pula tak pantas untuk membuatnya menjadi kompleks yang akhirnya menghilangkan makna keindahannya. Menikah akan mempertemukan dua manusia yang memiliki karakteristik jiwa yang berbeda satu sama lainnya namun memiliki ketertarikan yang tak mampu dijelaskan dengan kata-kata biasa, sekalipun oleh para pujangga. Ia seolah seperti sebuah energi yang tersimpan kuat di dalam dada setiap manusia, terkadang tenang, terkadang bergolak, dan akhirnya ingin bertemu pada muara yang sama.
Sebuah jiwa yang telah resah di hari-harinya seolah seluruh dunianya telah berubah karena ia seperti kehilangan separuh hatinya. Sebenarnya bukan kehilangan tepatnya, namun ia hanya belum menemukan. Puisi-puisi, syair-syair, bahkan nasihat dari para bijak bestari pun tak lagi memiliki arti bagi para jiwa yang sudah tak kuasa ‘tuk segera menggenapkan diri.
“Lalu, apa? Apa yang sebaiknya aku lakukan?”

Rasulullah saw pernah bersabda, “Tak ada yang bisa dilihat lebih indah dari orang-orang yang SALING MENCINTAI seperti halnya PERNIKAHAN” (HR. Al Hakim).
Cinta antara dua manusia, antara dua jiwa yang berbeda namun entah mengapa tiba-tiba mereka memiliki frekuensi yang sama, harus bermuara dalam pernikahan. Tidak bisa tidak, tak ada lagi tawaran lain selain pernikahan. Hubungan-hubungan palsu duniawi yang lemah tidak akan pernah mampu menggantikan ajeg dan kokohnya tali cinta dalam pernikahan.

Sekali lagi, mari ingatlah, pernikahan bukanlah hal yang mudah namun tidak pantas pula untuk mempersulitnya. Banyak yang ragu dan enggan untuk memulai. Bisa disebabkan karena kondisi keuangan, kondisi pribadi, hingga kondisi keluarga. Seorang pemuda yang telah jatuh hati pada wanita idamannya hanya akan memiliki dua pilihan, meminang wanita itu hingga akhirnya menikah, atau izinkan laki-laki shalih lainnya untuk meminangnya. Dia tak bisa memberikan janji-janji pemenuh kebutaan syahwat yang pada akhirnya hanya akan menyakiti kedua belah pihak, entah akhirnya mereka benar-benar menikah atau tidak.
Setelah meminang, hanya akan keluar dua kalimat indah yang telah diajarkan oleh manusia paling mulia, Rasulullah saw. Katakan, “Alhamdulillah” jika engkau diterima, dan gelorakan, “Allahu Akbar” jika pinanganmu ditolaknya, sederhana. Sederhana pada pelaksanaannya namun hati, hati adalah rongga yang begitu dalam dan memiliki detak dan debar yang tidak sederhana. Maka di sinilah diuji keimanan manusia, apakah ia ridha dengan keputusan Tuhannya, Tuhan yang telah membuat ia dari saat sebelumnya ia bukan apa-apa, Tuhan yang telah memberikan nikmat yang sama sekali tidak mampu terhitung jumlahnya, dan tentu saja Tuhan yang telah menyematkan cinta yang begitu indah di dalam hatinya, atau ia merasa kecewa, tidak ikhlas, hingga akhirnya gerutu dan umpatan keluar dari lidah dan lisannya.
Sungguh kawan, cinta dua insan tidaklah mampu disembunyikan. Layaknya Abdullah bin Abu Bakar dan istrinya Atikah. Kenikmatan dan indahnya cinta yang akhirnya mereka rasakan dalam pernikahan membuat Abdullah lalai akan mengingat Tuhannya, bahkan hingga syuruq pun belum terlihat batang hidungnya di antara para jamaah shalat subuh. Maka, Abu Bakar, ayahnya, meminta untuk menceraikan istrinya. Perasaan apa yang ada di hatinya? Wanita yang begitu ia cintai, yang akhirnya ia dapatkan dengan cara halal dan suci harus ia lepaskan begitu saja! Siapa?! Siapa?! Siapa yang tidak akan menangis begitu dalam ketika harus menerima kenyataan ini. Siapa yang tidak akan menggubah syair yang memilukan jika harus menghadapi ini? Tetapi, perintah orang tua-lah yang ia utamakan, karena ia tahu ridha Allah berada pada ridha orang tua dan murka Allah berada pada murka orang tua.

Hari-hari kedua insan itu hanya dilalui seolah dua orang pesakitan yang tidak lagi memiliki harapan hidup, karena sebagian jiwa mereka hilang dan tidak mampu tergantikan kecuali kembali digenapkan. Akhirnya, Allah mengizinkan untuk mereka berkumpul kembali dalam siraman ridha Illahi.

Kawan, pernikahan membutuhkan persiapan. Ada dua hal mendasar yang memiliki batas yang hampir-hampir saling bersinggungan satu dengan yang lainnya, yaitu antara menyegerakan dan tergesa-gesa. Rasulullah saw bersabda, “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu ba`ah, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan farji…“(HR. Bukhari dan Muslim).

Apakah itu ba’ah wahai saudaraku? Ibnu Qayyim al-Jauziy berkata bahwa ba’ah adalah kemampuan biologis untuk berjima’. Namun, beberapa ulama ada yang menambahkan bahwa ba’ah adalah mahar (mas kawin), nafkah, juga penyediaan tempat tinggal. Kita tak mampu menutup mata dari berbagai kebutuhan yang harus terpenuhi ketika dua insan telah menyatu di dalam pernikahan.

Ada beberapa hal penting yang harus dipersiapkan menuju pernikahan. Sebuah bekal yang akan mempermudah dua insan untuk berjalan di jalur yang sama dalam pernikahan.

1. Persiapan ruhiyah
Saat pernikahan hanyalah memiliki satu niat, untuk semakin mendekatkan diri pada Tuhannya, sehingga Allah akan berkenan untuk meridhainya. Niat paling murni dan penuh keikhlasan dari seorang hamba. Dengan niat yang lurus ini seseorang akan yakin dan percaya bahwa Allah hanya akan memberikan yang terbaik untuknya, yang terbaik, yang terbaik, sekali lagi, yang terbaik. Tidak ada pilihan lainnya. Tentu saja hal ini tidak akan datang begitu saja, melainkan melalui proses perbaikan diri, perbaikan kualitas ibadah, dan pemurnian hati.

2. Persiapan ilmu
Saat dua paradigma berpikir disatukan, maka ia akan menemui benturan dan adu argumen antara keduanya. Persiapan ilmu dibutuhkan untuk mempersiapkan dan menyelaraskan perbedaan pandangan yang akan ditemukan ketika dua insan telah berada pada bahtera yang sama. Tanpa persiapan ilmu yang cukup, yang ada hanya pertengkaran dan tidak adanya pengertian antara yang satu dengan yang lainnya.

3. Persiapan fisik
Adalah cinta membutuhkan energi untuk hidup dan tetap menyala, maka seperti itulah yang dibutuhkan dalam kehidupan rumah tangga. Adalah bodoh ketika seorang suami hanya memberikan cinta tanpa menafkahi istri dan anak-anaknya. Cinta bukanlah khayalan dan fatamorgana, namun cinta adalah kenyataan yang dihadapi di depan mata. Fisik keduanya harus kuat, baik untuk membangun cinta juga untuk membangun keluarga. Hingga akhirnya cinta akan tetap hidup dalam bahtera keduanya.

4. Mengenal calon pasangan
Kenali ia dengan bertanya kepada keluarga atau orang yang shalih dan dapat dipercaya. Berjalan dengan mata tertutup adalah kebodohan yang nyata yang akan membawa mudharat baginya. Maka, lihat dan kenalilah calon pasanganmu dan berdoalah agar Allah memberikan yang terbaik untukmu. Satu hal yang perlu diingat kawan! Mengenal pasangan bukanlah dengan engkau berjalan berdua dengannya memadu cinta kasih yang sama sekali Allah haramkan hubungannya. Sama sekali tidak! Dengan itu kau hanya belajar menjadi kekasih yang baik, bukan istri/suami yang baik. Percayalah, pernikahan tak sama dengan hubungan semu yang sedang kau jalin bersamanya. Saat kau menikah tetap akan ada hal-hal baru yang sama sekali tidak kau ketahui dan itu jauh berbeda. Jika hasilnya sama, mengapa memilih jalan yang penuh duri dan sama sekali tidak mengandung ridha-Nya?

5. Lurusnya niat
Meskipun telah disinggung pada poin pertama, namun lurusnya niat bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Ia harus terhindar dari riya’ dan sum’ah, dari dengki dan iri, dan dari berbagai sifat yang merusak hati serta merusak hubungan dengan Tuhannya. Karena segala sesuatu berawal dan berakhir dari niatnya.
Cinta bukanlah satu hal pasif yang tidak membutuhkan energi dan pengorbanan untuk meraihnya namun ia adalah energi yang membutuhkan kerja keras dan berbagai pengorbanan, membutuhkan keikhlasan dan jernihnya hati, dan membutuhkan penyerahan diri pada pemilik cinta yang hakiki.
Biarlah cintamu tumbuh berkembang, akarnya menghujam bumi, daunnya berdesir mengikuti alunan angin, dan buahnya manis, serta bunganya indah merona, karena kau serahkan segalanya kepada Allah, Tuhan yang menciptakan cinta itu sendiri.

Oleh: Muhammad al-Fatih