Seorang hamba yang mengharap ampunan hendaknya menilik kepada para pemilik tanaman. Setiap pemilik tanah yang subur, dia menyemai benih pilihan di atasnya. Lalu, dia mengairi tanah itu tepat pada waktu yang dibutuhkan, membersihkan dari rumput dan dahan-dahan yang bisa merusak tanaman. Kemudian dia menunggu karunia Allah subhanahu wa ta’ala agar tidak ada petir yang menyambar dan bencana yang menimpa, sehingga tanamannya itu tumbuh menjadi besar. Maka penantian inilah yang disebut dengan harapan.
Jika seseorang menyemai benih di atas tanah yang tandus dan keras, daerahnya tinggi sehingga tidak bisa dialiri air. Kemudian dia tidak merawat, memelihara, dan hanya menanti panenan saja. Maka penantian ini disebut kebodohan dan tipuan, bukan harapan.
Ibnu Qudamah berkata : Barangsiapa berharap menjadi orang yang baik, tapi dia tidak menampakkan tanda-tandanya, berarti dia adalah orang yang tertipu.
Sedangkan jika seseorang menyemai benih di tanah yang subur, tapi tidak ada airnya, lalu dia menanti turunnya hujan. Maka penantiannya itu disebut angan-angan dan bukan harapan.
Istilah harapan hanya berlaku bagi penantian sesuatu yang disenangi, yaitu didahului dengan adanya sebab-sebab internal. Kemudian darinya dibarengi dengan usaha seorang hamba. Sedangkan hal-hal yang tidak diusahakannya, adalah karunia dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Harapan itu adalah sesuatu yang terpuji, karena harapan bisa mendorong kepada amal. Sedangkan putus asa adalah sesuatu yang tercela, karena ia mengalihkan dari amal. Orang yang tahu bahwa tanah yang diolahnya tandus, air di sekitarnya tidak mengalir sehingga benih tidak bisa tumbuh, lalu dia justru meninggalkan tanah itu dan tidak mau bersusah payah untuk mencari penggantinya.
Keadaan seperti ini telah disinggung Allah subhanahu wa ta’ala dalam firmanNya Surat Al Hijr ayat 55, yang berbunyi :
فَلا تَكُنْ مِنَ الْقَانِطِينَ
maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa
Kemudian disebutkan pada ayat selanjutnya bahwa orang-orang yang tersesat adalah mereka yang berputus asa dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala,
قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلا الضَّالُّونَ
Ibrahim berkata: “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat”.
Antara Takut dan Berharap
Rasa takut adalah hal yang manusiawi. Setiap individu pasti pernah merasakan ketakutan. Baik dia wujudkan dengan hal-hal yang nyata, ataupun hanya tersimpan dalam perasaan saja. Ketika seseorang khawatir akan terjadi sesuatu pada dirinya, dia sedikit banyak telah merasakan ketakutan pada dirinya. Begitu pula dengan pengharapan. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang pernah mengalaminya. Kedua sifat inilah yang ditunjukkan Allah subhanahu wa ta’ala di dalam firmanNya, sebagai satu tanda adanya kekuasaaan Allah yang maha luas. Dia berfirman,
وَمِنْ آيَاتِهِ يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan (QS. Ar Ruum : 24)
Kedua sifat ini harus seimbang antara satu dengan yang lain. Jikalau berlebihan dalam rasa takut, maka seseorang akan menjadi kaku dan cengeng. Beda halnya jika dia berlebihan dalam berharap, maka hanya angan kosong saja yang akan didapatkan.
Perwujudan nyata yang benar dari kedua sifat ini adalah ketika seorang hamba berdoa kepada Robbnya. Dia harus memadukan antara rasa takut dan harap. Sehingga Allah subhanahu wa ta’ala semakin dekat dan berkenan untuk mengabulkan permohonannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al A’rof : 56)
Allahlah Tempat Berharap
Suatu ketika Al Hasan bin Ali bin Abi Tholib ditimpa krisis keuangan. Dia mendapatkan gaji setiap tahun sebanyak seratus ribu. Pada suatu malam Muawiyah tidak memberikan bayaran itu kepadanya, maka dia pun menderita akibat krisis keuangan tersebut. Al hasan berkata,”Saya meminta tinta kepada salah seorang sahabat untuk menulis surat kepada Muawiyah tentang bagianku, namun saya tidak melakukannya.”
Tiba-tiba dalam tidurku saya melihat Rasulullah berkata,”Bagaimana keadaanmu wahai Hasan?”
Saya katakan,”Saya baik-baik saja wahai kakekku.”Saya kemudian melaporkan tentang ditundanya bayaran yang seharusnya diberikan kepada saya. Lalu Rasulullah bersabda,”Apakah engkau memanggil seseorang agar kamu bisa menulis permohonan kepada makhluk sepertimu dan kamu peringatkan bayaranmu?”
Saya katakan,”Ya, wahai Rasulullah, lalu apa yang sebaiknya saya lakukan?”
Rasulullah bersabda,”Katakan doa ini :
اَللّهُمَّ اقْذِفْ فِيْ قَلْبِي رَجَاءَكَ، وَاقْطَعْ رَجَائِي عَمَّنْ سِوَاكَ، حَتَّى لَا أَرْجُو أَحَدًا غَيْرَكَ. اَللّهُمَّ وَمَا ضَعُفَتْ عَنْهُ قُوَّتِي، وَ قَصُرَ عَنْهُ عَمَلِي، وَ لَمْ تَنْتَهِ إِلَيْهِ رَغْبَتِي، وَ لَمْ تَبْلُغْهُ مَسْأَلَتِي، وَ لَمْ يَجْرِ عَلَى لِسَانِي، مِمَّا أَعْطَيْتَ أَحَدًا مِنَ اْلأَوَّلِيْنَ وَ اْلآخِرِيْنَ مِنَ اْليَقِيْنَ، فَخَصَّنِي بِهِ يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ
Ya Allah tanamkan dalam dadaku harapan untukMu, dan putuslah harapanku kepada selainMu hingga tidak saya gantungkan harapanku kepada selainMu. Ya Allah tanamkanlah dalam dadaku yang saya tidak uat melakukannya dan saya tidak dapat menanggungnya dan keinginan yang tidak saya sampaikan kepadanya, dan belum pernah terlontar pada lidahku apa yang Engkau berikan kepada orang-orang terdahulu dan belakangan dari keyakinan, maka berikanlah itu kepadaku wahai Rabb semesta alam.
Al Hasan berkata,”Demi Allah belum seminggu saya mengucapkan doa ini, ternyata Muawiyah mengirim kepada saya uang sebanyak sejuta lima ratus ribu. Lalu saya katakan,”Segala puji bagi Allah yang tidak pernah melupakan orang yang mengingatNya dan tidak pernah mengecewakan orang yang memintaNya.”
Kembali saya melihat Rasulullah dalam mimpiku. Dia berkata,”Bagaimana keadaanmu wahai Hasan?”
Saya jawab,”Baik-baik saja wahai Rasulullah!” lalu saya beritahukan kepadanya apa yang telah terjadi. Rasulullah berkata,”Wahai anakku, demikianlah orang yang menggantungkan harapannya kepada Yang Maha Pencipta dan tidak pernah menggantungkan harapannya kepada makhlukNya.”
Mengharap ampunan Allah
Dari Anas bin Malik rodhiallahu ‘anhu dia berkata: Aku mendengar Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam, sepanjang engkau memohon kepada-Ku dan berharap kepada-Ku akan Aku ampuni apa yang telah kamu lakukan. Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, jika dosa-dosamu setinggi awan di langit kemudian engkau meminta ampunan kepada-Ku akan Aku ampuni. Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau datang membawa kesalahan sebesar dunia, kemudian engkau datang kepada-Ku tanpa menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun, pasti Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. Tirmidzi, ia berkata, ”hadits ini hasan shahih)
Seberapa pun besar dosa seseorang, Alloh subhanahu wa ta’ala menjanjikan ampunan jika mau beristighfar. Ampunan Alloh akan menyebabkan terhapusnya dosa. Terhapusnya dosa menyebabkan terhindar dari azab dunia dan azab akhirat.
Siapa yang mau istighfar ketika berdosa, maka dosanya terhapus meski puluhan kali dia lakukan tiap harinya. Dan dia terbebas dari predikat orang yang larut dalam dosa. Ini semua menunjukkan betapa besar dan luasnya rahmat Alloh subhanahu wa ta’ala pada hamba-Nya. Maka celakalah seorang hamba yang mengetahui luasnya rahmat Alloh namun dia tidak berusaha untuk meraihnya. Sehingga dia akan terhalang dari rahmat-Nya.
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam dalam sehari beristighfar lebih dari 70 kali. Bahkan, ada suatu riwayat yang menyebutkan bahwa beliau beristighfar sampai 100 kali setiap harinya. Inilah tauladan dari seorang Muhammad sholallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang Rasul yang masih mengharap ampunan Allah subhanahu wa ta’ala walaupun beliau sendiri ma’sum (terjaga dari dosa dan kesalahan).
Teruslah Berharap!
kepada para hambaNya yang bertakwa.Siapakah yang tidak mempunyai impian? Tentu setiap orang akan menjawab saya punya. Walaupun, jawaban itu ada yang diucapkan secara lesan ataupun tidak. Akan tetapi hati mereka tidak bisa ditipu bahwa ada sebuah impian yang ada pada dirinya. Bahkan, anak kecil pun mempunyai sebuah keinginan yang menjadi impian mereka. Sedangkan impian terbesar seorang Muslim adalah ketika dimasukkan ke dalam Jannah Allah subhanahu wa ta’ala dan dapat memandang wajahNya. Karena inilah nikmat paling agung dari Rabb ‘azza wa jalla
Harapan adalah sebuah refleksi dari sebuah impian yang muncul di dalam jiwa. Jika seseorang sudah memiliki impian, maka harapanlah yang akan terjadi setelahnya.
Islam tidak melarang pengikutnya memiliki sebuah impian. Yang dilarang adalah berangan-angan kosong tanpa ada usaha di dalamnya. Untuk itu, kita sebagai seorang Muslim harus terus berharap dan jangan berhenti. Agar impian kita nantinya dapat terwujud di kemudian hari. Aamiiin..
Referensi :
Minhajul Qosidin — Ibnu Qudamah
-
Tarikh Khulafa’ — Imam As Suyuthi
-
Ringkasan Syarah Arba’in An Nawawi — Syaikh Sholih Alu Syaikh
Oleh: Rasyid
resource : oaseimani