Tuesday, November 2, 2010

Pahala tak tersisa, dosa bertumpuk pula

 

إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّارِ


“Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang kelak pada hari kiamat datang dengan membawa pahala shalat, shiyam dan zakat tetapi ia juga mencela kehormatan si ini, menuduh zina si itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah si ini dan memukul si itu. Lalu kebaikan-kebaikannya diberikan kepada si ini dan si itu. Jika kebaikannya habis sebelum semua urusannya selesai maka kesalahan-kesalahan orang yang dia dzalimi dibebankan kepadanya kemudian ia dilemparkan ke neraka.” (HR. Muslim).

Pada awal bulan Ramadhan 1429 H, ada kejadian menarik yang akan selalu aku ingat. Kejadian itu terekam jelas dalam memoriku. Seolah tak ingin hilang dan tersia-sia. Siang itu, sekitar pukul 11.20, aku pergi ke masjid sebelum adzan Zhuhur berkumandang. Aku ingin mendengar sekelumit kajian ibu-ibu yang diadakan di dalam kelas –sekitar 3 kelas- yang bersampingan dengan masjid, pada 10 hari pertama bulan Ramadhan. Sebuah kajian yang diadakan untuk memupuk keimanan dan meningkatkan ketakwaan. Salut. Karena jumlah ibu-ibu yang datang memenuhi ruangan, bahkan karena tak cukup, ada yang mendengarkan di luar ruangan.

Belum sampai langkah ini sampai ke masjid, aku mendengar suara sesenggukan. Semakin mendekat, semakin jelas pula suara sesenggukannya. Itu bukan sesenggukan tangis anak-anak tapi ibu-ibu. Aku termenung dan terpaku mendengarnya. Seolah ada gelombang tsunami yang selama beberapa detik menghentikan langkahku. Ibu itu tidak kuasa menahan deraian airmatanya. Tangisnya tumpah sekalipun ia di depan segenap kaum hawa, dan dialah yang sedang memberikan nasehat kepada mereka. Sesekali, ia usap airamatanya dengan tangannya. Suasana di dalam ruangan itu sedemikian haru. Semua ibu-ibu terdiam dan terpaku.

Pemateri itu kemudian menyampaikan dengan kata terbata-bata dan berusaha menyembunyikan sesenggukannya, “Ibu-ibu semuanya…, dari lubuk hati terdalam saya meminta ibu-ibu sekalian memaafkan bila ada salah kata dan salah ucap yang pernah saya lakukan. Ibu-ibu, betapa merugi dan bangkrut orang yang disebutkan dalam hadits yang tadi saya sebutkan. Orang itu membawa pahala shalat, membawa pahala shiyam, membawa pahala zakat selama hidupnya, namun semuanya terasa sia-sia karena terlampau banyak kedzaliman yang dilakukannya. Sekali lagi, saya meminta kerelaan dan keikhlasan ibu-ibu semua untuk memaafkan saya, baik tersengaja maupun tidak.”

Materi yang disampaikan pada hari itu adalah hadits tentang orang yang bangkrut; orang yang membawa pahala shalat, membawa pahala shiyam, membawa pahala zakat, tetapi semuanya nyaris tidak tersisa. Bahkan ia mendapatkan tumpukan dosa yang harus ditanggungnya. Kebaikan tidak tersisa, bertumpuk dosa pula. Alangkah meruginya…,

Dosa yang mengikis pahala
Sebenarnya, hadits itu sudah biasa kita dengar, terlalu sering bahkan. Atau mungkin kita sudah hafal di luar kepala. Namun kalau kita mampu mengeja kedalaman makna yang terkandung dalam hadits tersebut sebagaimana ibu di atas, mungkin kita juga akan bisa merasakannya. Karena pahala-pahala amal shaleh kita bisa jadi nanti bukan milik kita lagi lantaran terlampau banyak kezhaliman yang mungkin kita lakukan tanpa kita sadari. Dosa mencela, menuduh zina, mengambil harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain adalah dosa-dosa yang kelak akan kita peruntukkan kepada orang yang pernah kita zhalimi. Kiranya, ini yang harus kita waspadai. Kita berlindung kepada Allah dari semua jenis kezhaliman karena kezhaliman akan menjadi menjadi kegelapan, pada hari kiamat kelak.

Dosa Lisan, dosa yang paling berat
Tentang hadits al Muflis di atas, Nabi menyebutkan dosa lisan pada urutan pertama. Ini menunjukkan betapa banyak manusia yang terjerumus ke lembah dosa lisan tanpa mereka sadari. Bahkan beliau mewanti-wanti bahwa kelak yang banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah mulut dan kemaluan. Rasululloh bersabda, “Aktsaru ma yudkhilu an nasa an naara al fammu wa al farju, Kebanyakan yang memasukkan manusia adalah mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi dan mengatakan, “Ini hadits shahih.”).
Dari hadits inilah, Ibnul Qayyim dalam bukunya, al-Wabil ash-Shayyib, menjelaskan bahwa kesabaran terhadap maksiat yang paling berat adalah sabar dari maksiat lisan dan kemaluan. Alasannya, ada banyak faktor yang mendorong lisan dan kemaluan untuk bermaksiat, dan kemudahan sarana bagi keduanya untuk bermaksiat. Beliau melanjutkan, ini disebabkan karena kemaksiata lisan adalah bentuk kemaksiatan yang disenangi manusia, seperti : Adu domba, ghibah, dusta, sombong, memuji diri sendiri, baik secara langsung maupun tidak, menyiarkan omongan orang lain, mencaci maki orang yang dibenci dan menyanjung orang yang dicintai, dan lain sebagainya. Dari sini, kekuatan pendorong dan kemudahan untuk melakukan kemaksiatan berkumpul menjadi satu sehingga kesabaran menjadi melemah. Oleh karena itu, Rasululloh mengingatkan Mu’adz, “Jagalah lisanmu !” “Wahai Rasululloh, apakah kita akan dihukum karena apa yang kita katakan ?” tanya Mu’adz. Beliau menjawab, “Tidaklah manusia dilemparkan ke dalam neraka melainkan karena lisannya ?” (HR. Tirmidzi dan ia berkata, “Ini hadits hasan shahih.”).
Karena beratnya sabar terhadap maksiat lisan dan kemaluan inilah Rasululloh menjanjikan jannah bagi orang yang mampu menjaga keduanya. Beliau bersabda, “Man yadhman li ma baina lihyaihi wa baina fakhidaihi adhman lahu al jannah…., Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua dagunya (mulut) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan) maka aku akan menjamin jannah baginya.” (HR. Bukhari).
Dalam sunannya, Imam Tirmidzi menyebutkan hadits Bilal bin Harits al-Muzani bahwa Rasululloh bersabda, “Salah seorang diantara kalian ada yang mengatakan satu ucapan yang diridhai Allah, ia tidak pernah menyangka bahwa ucapannya akan menghantarkannya pada kedudukan yang tinggi. Kemudian Allah menentukan keridha’an-Nya kepadanya karena kalimat tadi sampai hari ketika dia bertemu dengan-Nya. Dan di antara kalian ada juga yang berbicara dengan satu perkataan sehingga menyebabkan kemurkaan Allah yang ia tidak pernah mengira bahwa ucapannya itu mengundang kemurkaan-Nya. Kemudian Allah menetapkan kemurkaan-Nya kepadanya karena ucapan tersebut sampai pada hari ketika dia bersua dengan-Nya.”

Berkaitan dengan hadits di atas, al-Qamah mengatakan, “Berapa banyak kalimat yang tidak jadi aku ucapkan karena teringat hadits Bilal bin Harits tersebut.”

Kiranya, kita harus belajar menjaga lisan kita; belajar untuk tidak mencaci, mengata-ngatai, menggibah dan semisalnya, karena dosa inilah yang paling berpotensi menggunduli pahala ibadah kita, tanpa sisa. Lisan, ia bisa menjadi jalan menuju jannah, atau sebaliknya, jembatan menuju neraka. Pilihannya kembali kepada kita. Kalau toh ada yang mengatai kita, pesan Isa bin Maryam ‘Alaihis salam perlu kita renungkan bersama, “Janganlah perkataan manusia membuatmu sedih. Kalau ia benar, itu adalah balasan dosamu yang disegerakan, namun bila ia tidak benar maka itu akan menjadi amalan kebaikan yang tidak kamu lakukan.” Ibnu Mahdi pernah berharap, “Demi Allah, kalau tidak karena khawatir manusia bermaksiat kepada Allah niscaya aku berharap agar semua penduduk Mesir mengghibahku.” Lanjut beliau, “Adakah yang lebih diharapkan melebihi seseorang yang mendapatkan pahala kebaikan yang tidak dia lakukan?.” Wallahu A’lam. 

Sumber : http://ibnuabdulbari.wordpress.com

No comments:

Post a Comment